Oleh. Eva NF
Tatapanmu
samar, sesamar duniamu yang tak pernah bisa diterka. Pantai di hadapanmu
bagaikan hamparan hampa seperti pikiranmu yang kosong. Teriakan-teriakan
pengunjung sebagai hujatan kepada Tuhan atau pun kekecewaan pada nasib tak
sedikit pun kau hiraukan karena mungkin engkau bagian dari mereka. Perbedaannya
engkau selalu berada dalam kebisuan. Matamu sayu dan air matamu pun hampir tak
terbendung tapi tak pula kau lepaskan.
“Dian, Ayo pulang-pulang”, ku
rengkuh lembut pundakmu, tapi kau tak menyautnya tetap duduk mendekap kedua
lutut mu. Malam semakin larut. Apa
salahnya ku ajak kau kembali ke Hotel. Apalagi kamar kita bersebelahan.
Dua hari yang lalu, di pantai ini
kita berkenalan kau menyendiri, bersama misteri yang tak pernah ku mengerti.
Menatap laut, jauh dan kosong. Aku seperti telah mengenal mu sebelumnya. Suara
batinku yang ingin tahu begitu kuat. Kuhampiri engkau, tapi kau tak pernah
peduli. Hanya nama, yach hanya namamu yang ku peroleh saat itu.
Lama kau menatapku. Tatapan yang kosong
dan tanpa senyuman. Biarlah aku ingin menjaga mu kau terus mengamatiku. Aku
sadar, kalau aku orang baru di duniamu. Akhirnya engkau berdiri, dan dengan
langkah yang gontai, mengikutiku. Lega.
*******
Pagi ini ku lihat engkau menyisir
pantai. Pandanganmu tetap sendu dan kosong. Entah sampai kapan. Dari balik
tirai jendela kamar terus ku amati kau biarkan rambut panjangmu terurai dan
terbelai bayu, tapi tak pula kau menikmatinya. Senyummu terlalu mahal.
Kadang aku berpikir nikmat yang
manakah yang bisa didustakan. Birunya langit, putihnya awan, semilir angin,
deburan ombak, lambaian pohon hingga udara yang masih bisa kita hirup serta
kelengkapan anggota badan kita. Tapi mengapa? Sebenarnya apa yang terjadi.
Setiap orang yang melihatmu pasti
punya berbagai tanya, kemudian dijawabnya dengan terkaan-terkaan. Mungkin hanya
aku yang paling berhasrat di tengah kekosonganku yang hanya berlibur dan lari
dari permasalahan.
Ku
susul engkau, dan ku ikuti langkahmu kau tetap tak acuh. Diam dan membisu.
Sadarkah kau, kalau aku ada?. Pasti karena ku merasakannya. Engkau sekejap
menoleh kepadaku.
“Aku
ingin menjadi ombak”, kau berhenti, tatapanmu menerawang jauh ke laut. Kemudian
duduk seperti biasa. Duduk mendekap kedua lututmu. Pasrah. Aku pun mengikutimu.
Aku kirimkan senyum, tapi tak pula kau menghiraukanku kau seperti mengadu pada
laut yang hanya selalu menjawab dengan deru ombaknya dan tidak ku mengerti.
“Mengombang-ambingkan buih dan mengejar setiap manusia durjana.
Hancur-hancur” jelasmu kemudian. Kau seperti bertekad, tapi juga seperti
menyimpan dendam. Dendam yang membara dan memenuhi setiap nafas yang kau
miliki.
“Kau
pernah jatuh cinta?”, kau tatap aku sekilas, kemudian menerawang ke langit. Aku
tertohok kaget. Ku ingin menjawab, tapi sepertinya kau tak butuh jawabannya.
Kau diam, tidak fokus kepadaku. Akhirnya, aku pun hanya membisu.
Aku
gadis islam dan berjilbab, aku pun mempunyai hati selayaknya gadis yang lain.
Wajarkan kalau aku jatuh cinta mendambakan kekasih yang akan selalu mencintai,
mengasihi dan membimbingku untuk selalu berada dalam syariat agamaku. Akh,
sudahlah untuk apa aku bercerita banyak, kalau kau tak ingin mengetahuinya.
Ku
amati kau, terus dan terus. Hingga ku sadar kalau engkau menangis. Air matamu
sudah tak lagi terbendung. Baguslah !!. Aku senang semoga itu membuatmu lega
dan lekas lepas kegundahan dan keresahanmu. Agar aku bisa melihat senyummu kau
sebenarnya amat manis dan cantik tapi apa yang membuatmu bersedih. Aku tak
berani mengganggumu kalau hanya sekedar tanya. Hanya ada keheningan antara kau
dan aku.
*******
Kau terdiam, menikmati tangisanmu
setelah bercerita, yach cerita yang selama ini sepertinya telah mengganggu
benakmu. Aku ingin menangis pula, tapi untuk apa? Menghayati? Merasakan?
Bagaimana?. Aku hanya menggelengkan kepala, untuk kata tidak.
Kau tutup mukamu dengan kedua
telapak tanganmu. Fikiranku melayang dan terus melayang. Akankah engkau selalu
melamun dalam penyesalan? Bagaimana dengan teman-temanmu yang tahu cerita ini?
Orang tuamu?
Apa
rencana ke depan? Setiap pertanyaan yang ada, tertambat di ulu hati dan tidak
terlepas. Akhirnya seperti biasa aku hanya diam, hening. Hanya kau yang bisa
memecahkan suasana ini. Namun, engkau asyik dengan kebisuanmu.
Bumi selalu berputar, dan matahari
telah di atas kita.Panas. “Kembali ke hotel yuk!!.” ku ajak engkau tapi engkau
tak bergeming. “Biarkan aku di sini!”, Dengan lemah, engkau bicara isyarat
matamu mengizinkanku pergi. Kemudian engkau kembali dalam lamunanmu sendiri.
*******
“Di mana kau, Dian? ”Mata ini
menelusuri pantai. Mencarimu. Engkau yang biasa duduk di sekitar sini, tak pula
kutemukan. Bayanganmu makin membuatku takut.
“Ombak !!” aku teringat pada
perkataanmu kemarin. Arti dari ungkapan ini pun belum ku mengerti. Apa yang
terjadi denganmu`. Ketakutanku makin menjadi. Ngeri. Mataku terus mengawasi
setiap sudut pantai berharap engkau ada.
“Astaghfirullah, hanya kepadamu aku
berserah tolong jaga dan bimbing Dian untuk selalu bersama-Mu. Amin.” Kuusapkan
kedua tanganku ke muka. Gugup dan pasrah.
Di tempat seperti kemarin, kita
bersama menatap laut, kini, pagi ini, aku menunggumu hingga bosan. Nihil. Aku
kembali ke hotel untuk sekedar melepas lelah.
Setelah melewati ruang receptionist
dan lorong-lorong kamar, sampai pula aku ke kamar no. 32. Kamar yang ku sewa
selama ini. Ku buka pintu kamar dan sesuatu terinjak di kakiku. Sebuah kertas
yang dilipat ku bolak-balik dan ku dapati tulisan “Untuk sahabatku: Aisyah
Rahma”. Ternyata sebuah surat untukku.
Segera aku ke tempat tidur. Bukan
untuk mentiarapkan badan melainkan untuk membaca surat itu.
Ku tinggalkan surat itu di atas meja
sudut kamar. Aku segera berlari ke receptionist. “ Mbak..., Dian Puspita kamar
no.32, masih ada di hotel ini?” Aku mencoba untuk mendapatkan informasi.
Berdiri, menunggu dengan tidak sabar.
“Dian Puspita telah menyelesaikan
administrasi nya, dan sekarang sudah tidak di hotel ini lagi.” Jelas
receptionist itu. Aku kembali ke kamar lemas.
Pertemuan, perpisahan. Datang dan
pergi. Engkau siapa dan dari mana pun aku tak pernah tahu, cerita tinggal
cerita. Engkau bagian dari kenangan ku di Bandung.
Kini aku harus pulang, ke kampung
halamanku di Semarang. Merestui
adikku yang akan melangsungkan pernikahan lebih dulu dengan lelaki yang
sebenarnya selalu ada di hatiku. Aku kira lebih baik begini daripada kisah Dian
terulang kembali.
*******
Picture Reference:
https://www.pinterest.com/pin/467318898807282124/
إرسال تعليق