Memahami “Nas” Sebagai Objek Dakwah

 Dari potongan ayat kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas, dapat dikenali adanya sebuah kelompok masyarakat yang disebut sebagai nas sebagai kontras dari kelompok masyarakat yang disebut sebagai kuntum (minkum).  Kelompok nas atau manusia secara umum adalah target komunikasi dakwah dari kelompok kerja orang orang mukmin yang disebut minkum (QS.3: 104, 110). Mereka menjadi target perubahan atau publik yang harus ditangani atau dimenej sikap penerimaannya, persepsi, opini dan perilakunya agar secara kolektif memunculkan dien atau cara hidup masyarakat golongan kanan — yang tadi telah disebutkan dengan berbagai ciri istimewanya.

Terhadap kelompok nas, atau masyarakat umum yang pasti plural, upaya memproses pembentukan dien atau cara hidup mereka menuju masyarakat golongan kanan dilakukan melalui facts finding tentang cara berfikirnya. Sebuah penjelasan sangat singkat tentang cara berfikir kelompok ini nampaknya dijelaskan oleh rasulullah dalam sebuah  hadis: “Khairu an-nas anfauhum linnas” atau sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain (HR. Thobroni: 5787, Albani: 6662). Kalau dicermati kelihatannya hadits ini memiliki makna operasional atau makna kerja yang merentang dari tingkat idealis normatif  hingga ke tingkat yang sangat pragmatik material. Menurut Ibnu Katsir –berdasar tafsir beliau terhadap kata ma’ruf  -- yang disebut anfa adalah yang bermanfaat secara hakiki, yaitu yang menyelamatkan dunia dan akhirat. Tapi menurut kacamata frasa hadis “khatibu an-nas ‘ala qadri uqulihim”,  makna anfa ini bisa berbentuk sangat etnosentrik grounded atau sangat bergantung tingkat qadri uqul atau tingkat pemahaman manusia yang berbeda dari satu kelompok ke kelompok lain (Natsir, 1984:162). Sehingga pada kontinum ekstrimnya, akan sangat mungkin untuk justru muncul pemahaman atau uqul tentang anfa atau benefit yang bersifat menyalah artikan perkataan benar dari rasulullah tersebut.

Bagi sekelompok orang muslim yang taat, rasa terimakasih bisa muncul ketika merasa mendapat pemahaman mendalam dan normatif tentang ilmu tasawuf atau ilmu fiqih ibadah karena menurutnya sangat bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Namun bagi sekelompok lain, mereka akan lebih berterimakasih jika tak harus meluangkan waktu dan keseriusan berfikir ketika diajari ilmu agama. Ia akan lebih berterimakasih jika ustad atau kiyai mau datang untuk sebatas memimpin do’a tahlil atau do’a selamatan di rumahnya.

Pada kondisi  lain yang lebih paradoks, makna operasional dari anfa juga bisa tenggelam menjadi sangat menyedihkan.Yaitu ketika munculnya ‘qadri uqul’ pragmatik materialistik bahwa yang paling bermanfaat — bagi para calon pencoblos di TPS di sebuah daerah miskin — adalah uang serangan fajar seratus atau dua ratus ribu rupiah yang bisa mereka gunakan untuk membeli beberapa kilogram beras, gas, telur dan beberapa bungkus rokok. Sehingga dengan begitu, sejenak mereka bisa tidur nyenyak dua atau tiga hari di rumah.

Kalau dikaitkan dengan teori Maslow (1954) meskipun secara fenomenologi grounded  bisa berbeda-beda, makna operasional dari anfa akan mencapai derajat beririsan paling besar atau paling disepakati oleh mayoritas manusia pada area kebutuhan manusia yang mendasar, yang hari ini terdefinisi ulang sebagai kebutuhan kesehatan, selamat dari bahaya atau bencana, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dalam kategori Maslow, pendidikan sebenarnya tidak terkategori kebutuhan mendasar, tapi berdasar situasi aktual (sejak 1992)  dimana banyak keluarga memiliki ranking alokasi uang lebih tinggi dari belanja keluarga lainnya maka kebutuhan pendidikan telah bergeser menjadi kebutuhan mendasar. Dengan alasan itu, siapapun orangnya tentu akan suka jika ia mendapat pertolongan untuk selamat dari bencana, dientaskan kemiskinannya, disehatkan penyakitnya, dicegahkan dari ancaman narkoba terhadap anggota keluarganya, serta diselamatkan kelanjutan sekolah anaknya oleh beasiswa.

Berdasarkan uraian di atas, dua benang merah penting yang harus dipegang dari hadis khairunnas anfauhum linnas  adalah bekal pengertian bahwa: (1) apa yang baik menurut kelompok nas  belum tentu sama dengan apa yang baik menurut kelompok minkum  atau golongan mukmin, (2) apa yang baik menurut kelompok nas lebih dekat kepada pengertian benefit mendasar yang mudah dicerna seperti; ekonomi, kesehatan, keselamatan, dan kesempatan sekolah. Walaupun dalam dakwah, memberikan kemanfaatan pada hal-hal tersebut tidak mesti dijadikan tujuan utama. namun setidaknya bisa dijadikan sebagai semacam pintu masuk sebelum membenahi pemahaman keagamaan mereka agar menjadi lebih baik.

Tingkat kebermaknaan atau arti penting dari anfa dalam arti benefit dasar ini akan berpengaruh kepada sikap kesediaan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dari satu kelompok terhadap kelompok lain. Termasuk akan berpengaruh kepada sikap kesediaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dari kelompok nas terhadap kelompok minkum yang ingin mendakwahi mereka. Kalau dikaitkan dengan teori manajemen Harvard yang membahas exit, voice dan loyalty  (Albert O. Hirschman, 1970:21-29), maka apa-apa yang bisa membuat orang berdialog (voice), apa-apa yang bisa membuat orang berpaling (exit), dan apa-apa yang membuat orang dalam kelompok nas bisa diredam perasaannya untuk tetap jadi pelanggan setia (loyalty) adalah ingatan-ingatan mereka tentang manfaat. Dan jangan berharap dari yang diluar hal-hal yang tergolong manfaat.

Dari cara berfikir demikian, kita akan punya bekal bahwa kerja memberi atau menebar manfaat dalam arti kebutuhan kemanusiaan mendasar adalah paling relevan dan harus didahulukan bagi memuluskan perjalanan dakwah kepada masyarakat umum. Dengan kata lain, persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh tim dakwah yang bekerja di tengah masyarakat umum, adalah kembangkan diri atau tim agar menjadi pribadi atau tim kerja yang menebar manfaat dengan pengertian manfaat yang lebih universal yang difahami oleh cara berfikir nas secara umum dan bukan dalam cara berfikir tim dakwah minkum saja.

Apa yang dilakukan rasulullah kepada cucunya yang masih bayi bukanlah memberi kalimat-kalimat ilmu seperti guru mengajar di kelas, atau seperti wasiat-wasiat ketakwaan orang tua oleh Luqman, tapi yang dilakukan adalah menggendong atau menghaluskan kurma agar menjadi anfa dalam arti mudah dimakan dan terasa enak (HR. Bukhari, No.376). Ketika menginjak usia balita, dua cucu rasulullah dibiarkan menaiki punggungnya meskipun beliau sedang sholat agar menjadi anfa sebagai “unta tunggangan” terbaik kesenangan anak-anak (HR. Nasa’i, No.1142). Beliau juga tidak membacakan ayat Qur’an terhadap anak yatim gadis kecil yang melamun menangis seorang diri di hari raya karena tak punya pakaian, melainkan beliau membawakan anfa berupa pakaian lebaran dan mengangkatnya sebagai anak (Octavia dkk., 2014:175). Bahkan sekalipun terhadap golongan mukmin mujahid, ketika dalam situasi berat menghadapi perang khandak, beliau tidak mengarang ayat Qur’an lalu membacakan siapa yang siap bekerja menggali dua kali lebih berat demi menggantikan rasululah akan dapat tiket masuk surga seketika, melainkan beliau memilih menebar anfa yang secara grounded situasional saat itu adalah dengan turut memegang cangkul dan menggali parit di terik mentari siang dan dalam selimut dingin udara malam gurun pasir, bersama perut yang nyaris tanpa makanan. Sebab, dalam situasi tensi berat, baik tensi ekonomi, tensi politik, atau tensi psikologis, yang akan membuat orang tetap bertahan ‘loyal’ adalah hal-hal yang tidak sulit untuk dicerna dan difikirkan, yaitu hal-hal yang secara nalar sederhana akan dilihat sebagai sesuatu yang memberi anfa atau manfaat secara riil.

Ketika Ibnu Yusuf Andalusy penulis kitab tafsir (berbasis nahwu-sharaf) Bahr al-Muhith menerangkan ayat ‘kuntum khaira ummah ukhrijat linnas, ta’muruna bilma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah (Qs.3:110),  beliau menjelaskan bahwa makna dari ma’ruf dalam ayat itu adalah benefit atau anfa atau kemanfaatan bagi manusia secara umum, dan bukan dalam pengertian sempit hanya bagi kelompok mukmin saja (Ibnu Yusuf Andalusy,  Bahr al-Muhith: 30-31). Quraish Shibab di Indonesia dalam tafsir Lentera Hati (Quraish Shihab, Al-Misbah juz 1:474) juga menjelaskan dengan cara yang sama bahwa maksud dari ta’muruna bilma’ruf dan tanhauna ‘anil munkar dalam ayat itu adalah dalam soal kemanusiaan yang umum dan universal. Dalam tingkatan praktis, yang termasuk ke dalam upaya ta’muruna bilma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar  adalah menghindarkan manusia dari bahaya minuman keras, judi, bencana alam, sampai kepada mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, program bantuan biaya sekolah atau kuliah kepada anak-anak yang tak mampu (Nurdin, 2006: 112-116).

Baik penjelasan Ibnu Yusuf Andalusy yang didasarkan keahlian beliau dalam soal nahwu-sharaf, maupun penjelasan Quraish Shihab yang mahir bahasa Arab plus penguasaan hermeneutik romantik (nuansa budaya sosial ketika ayat turun), mendukung kesimpulan bahwa ayat ini merupakan ayat strategi dakwah dalam meraih akseptabilitas sosial dan membangun infrastruktur jembatan komunikasi antara minkum dengan publik. Terkait target audien dakwah terbesar yang dilabel dengan istilah nas secara pasti mereka harus disikapi lebih bijak dibanding dakwah kepada kelompok yang sudah dilabel dengan sebutan minkum atau alladzina amanu. Sehingga, karena target audiennya adalah nas secara umum, maka posisi kalimat tu’minuna billah ditempatkan pada posisi belakang dan bukan didepan, al-hasil teksnya bukanlah kuntum khaira ummah ukhrijat linnas tu'minuna billah wa ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna‘anil munkar, tetapi menjadi kuntum khaira ummah ukhrijat linnas ta’muruna bilma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah.

Jika posisi tahapan dakwah menjadi dibalik menjadi tu’minuna billah dulu, kemudian dilanjutkan dengan ta’muruna bil ma’ruf dan tanhauna‘anil munkar, maka yang mungkin terjadi adalah seleksi atau gejala mengayak yang luar biasa ketat sebagaimana di masa awal dakwah rasulullah di Mekah. Harus diakui, hasil dari ‘ayak’ atau ‘saring’ yang ketat itu memunculkan generasi sahabat yang berkualitas dan sangat istimewa, sehingga mereka terus menerus menjadi motor-motor penggerak perubahan setelah rasulullah tiada. Tapi pada sisi lain, ‘ayak’ atau ‘saring’ itu juga menghasilkan amat banyaknya masyarakat jahiliyah Mekah yang justru menjadi oposan frontal yang sangat keras dan membahayakan. Semua itu bisa kita lihat dari permusuhan masyarakat jahiliyah Mekah terhadap dakwah yang dikembangkan rasulullah dan para pengikutnya. Tak jarang mereka melakukan penyiksaan dan kekerasan fisik serta psikis yang keluar dari ambang batas kemanusiaan.

Kalau diperhatikan dengan seksama, seumpama langkah awal dakwah dengan ta’muruna bil ma’ruf  dan tanhauna‘anil munkar  yang berorientasi memberikan kemanfaatan yang bersifat umum ini masih bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, itupun masih menimbulkan reaksi yang lebih ringan dibanding memulai dengan yang bertentangan pada tingkat keyakinan. Contohnya adalah jika orang diberi peraturan larangan miras tentu akan lebih ‘nrimo’, meski ia tetap merasa kesal, kalau dibandingkan ketika seorang beragama penyembah matahari diberi larangan menyembah matahari. Dalam hal ini penulis tidak sedang bicara tentang tidak pentingnya mengedepankan aqidah dalam dakwah, bahkan masalah perbaikan aqidah ini menjadi salah satu tujuan inti dari dakwah itu sendiri, tapi sedang berbicara tentang bagaimana strategi membuka jalan menuju ke sana.

Masyarakat yang mendapat pesan komunikasi  “ta’muruna bil ma’ruf“ atau “tanhauna ‘anil munkar“ yang bertentangan dengan kebiasaan atau perilaku biasanya lebih ringan tingkat reaksinya dibanding jika mereka mendapat pesan komunikasi berupa promosi perubahan keyakinan bertuhan yang bertentangan frontal, misal ketika diseru agar meninggalkan politeistik bendawi kepada monoteistik gaib.  Secara sosiologis, hal ini dikarenakan derajat kebereaksian norma sosial yang terkait kepada nilai keyakinan yang terlanjur mengkristal memang akan punya proses dan tingkat efek psikologi institusi yang berbeda kerasnya dibanding norma yang tidak terkait nilai keyakinan yang mengkristal (Mills & Gerth, 1953: 165-172). Efek psikologi institusi ini muncul dari dua arah, pertama dari arah konten institusi yang sedang dianut, yang kedua dari arah tata emosi pribadi-pribadi, sehingga deduksi institusional oleh individu menjadi berkekuatan ganda dalam melakukan penolakan (Mills & Gerth, 1953:165-172, 54-67).  Secara sistemik, pemapanan sikap dan reaksi untuk menolak atau meng ‘eject’ orang orang yang berbeda pandangan dan perilaku ini akan tumbuh dan dimiliki pada pola yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain.

Dengan cara pandang di atas akan dimengerti mengapa aktifitas dakwah ditengah masyarakat non-muslim yang tidak banyak tahu tentang Islam kecuali dari sumber-sumber yang mengembangkan stereotype Islam, biasanya akan mendapat tantangan dan resiko lebih keras dibandingkan masyarakat yang meski non-muslim tapi tidak terlalu ramai dengan rumor stereotype Islam. Demikian juga model aktifitas dakwah yang berfokus kepada pemberantasan TBC  (Tahayul, Bid’ah, Khurafat) biasanya akan mendapat reaksi sosial lebih banyak dibanding dengan dakwah transfomatif gradatif para Walisanga dan penerusnya yang lebih memilih memberikan pewarnaan atau mengganti substansi terhadap diskursus yang sama.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk bisa mengangkat akseptabilitas dakwah dan menetralisir potensi oposisi keras caranya, ialah dengan kembali kepada tafsir normatif ayat Qur’an, bahwa dalam ukhrijat linnas, yang harus dilakukan pertama adalah ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar  dalam arti anfa (memberi kemanfaatan) yang bersifat humanisme atau kemanusiaan universal. Pendapat inilah yang nampaknya bersesuaian dengan tafsir Qur’ani (Ibnu Yusuf Andalusy, Quraish Shibah, Ali Nurdin) maupun secara teori-teori psikologi & sosiologi  (A. Maslow, C Wright Mills, Hans Gerth) atau secara teori ilmu komunikasi public-relation (Hirschman, Grunig & Tod Hunt). Sebab secara umum, mayoritas orang akan lebih bersikap positif jika mereka didatangi orang yang bekerja membawa hal ma’ruf seperti dihindarkan dari bahaya narkoba, miras, judi, ditolong dari bencana alam, atau dientaskan dari kemiskinan dan nasib drop out-nya dari sekolah.


-----------------------------------------------
Dikutip dari buku:
Strategi Dakwah Era Demokratisasi (Pemikiran Muhammad Anis Matta), Penulis: Nur Ariyanto, M.S.I, Penerbit: YGIMK Press tahun 2017. ------- dapatkan buku tersebut di www.madanicorner.com


Post a Comment

أحدث أقدم