Hanya Orang Yang Berpuasa Yang Bisa Masuk Pintu Syurga ar-Rayyan


 
 إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُومُونَ لا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ «

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang dinamakan dengan “ar-Rayyan“. Orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasuki pintu tersebut. Kelak orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa.” Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan ditutup pintu tersebut dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Saudaraku,
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari menyebutkan, “ar-Rayyan dengan menfathahkan huruf ra’ dan mentasydid ya’, mengikuti wazan fi’il (kata kerja) dari kata ar riyy adalah nama salah satu pintu di surga yang hanya dikhususkan bagi orang yang berpuasa untuk memasukinya.

Dari sisi lafadz dan makna ada kaitannya. Karena kata ‘ar-rayyan’ adalah turunan dari kata ar-riyy yang artinya bersesuaian dengan keadaan orang yang berpuasa. Orang yang berpuasa kelak akan memasuki pintu tersebut dan tidak pernah merasakan haus lagi.”

Hadits di atas juga menunjukkan al jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan dari Allah sesuai dengan jenis amalan diperbuat.

Saudaraku,
Melanjutkan bahasan Jum’at lalu, ada beberapa kunci amalan yang semestinya kita maksimalkan di bulan Ramadhan agar kita dimudahkan-Nya untuk membuka pintu surga ar-Rayyan, di antaranya:

• Hiasi malam-malam Ramadhan dengan tilawah al-Qur’an

Ibnu Abbas mengabari kita bahwa malaikat Jibril, menyimak bacaan al-Qur’an dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada (malam-malam) bulan Ramadhan, sehingga Ramadhan berakhir, beliau khataman al-Qur’an satu di hadapan malaikat Jibril. Bahkan di tahun terakhir, beliau mengkhatamkannya dua kali.

Sebagian ulama salaf mengkhatamkan al Qur’an dalam shalat malamnya setiap tiga malam sekali. Dan sebagian mereka mengkhatamkannya setiap tujuh malam. Dan yang lain lagi (mengkhatamkan al Qur’an) pada setiap sepuluh malam. Mereka membaca al-Qur’an di dalam dan di luar shalat.

Imam Syafi’i rahimahullah mengkhatamkan al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak enam puluh kali, yang ia baca di luar shalat.

Qatadah rahimahullah, mengkhatamkan al-Qur’an secara rutin setiap satu pekan sekali. Di bulan Ramadhan setiap tiga hari, dan khusus di sepuluh malam terakhir Ramadhan, ia mengkhatamkannya setiap satu malam sekali.

Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, jika datang bulan Ramadhan, ia mengkonsentrasikan diri membaca al Qur’an.

Ibnu Rajab rahimahullah bertutur, “Sesungguhnya terdapat larangan (dari Nabi) untuk mengkhatamkan al-Qur’an setiap kurang dari tiga hari, dan hal ini hanya berlaku bagi orang yang melakukannya secara kontinue. Tetapi di waktu-waktu spesial, seperti bulan Ramadhan dan khususnya di malam-malam harinya untuk mengejar lailatul qadar, demikian pula di tempat yang istimewa seperti Mekkah bagi orang yang datang dari daerah lain, sangat dianjurkan untuk memaksimalkan membaca al-Qur’an, demi menjaga keutamaan waktu dan tempat. Dan ini merupakan pendapat imam Ahmad, Ishaq dan lainnya.” (Kitab Lathaif al-Ma’arif).

• Jangan remehkan persoalan I’tikaf

Saudaraku,
Aisyah radhiallahu anha meriwayatkan, “Jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), maka beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya (dengan shalat malam) dan membangunkan keluarganya.” (Muttafaq alaih).

Aisyah radhiallahu anha menuturkan pula, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meningkatkan (frekwensi ibadahnya) di sepuluh malam terakhir (Ramadhan), yang tidak beliau lakukan di bulan-bulan lainnya.” (HR. Muslim).

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih maksimal beribadah di malam-malam itu (sepuluh malam terakhir Ramadhan) daripada malam-malam selainnya, dan hal ini mencakup seluruh bentuk ibadah, seperti; shalat, membaca al-Qur’an, dzikir, sedekah dan lain-lain.
Mengencangkan ikat pinggang, maksudnya adalah bahwa beliau menjauhi istri-istrinya untuk memfokuskan diri melakukan shalat (malam) dan dzikir.

Dan beliau juga membangunkan keluarganya pada malam-malam itu untuk menegakkan shalat dan dzikir, demi memaksimalkan momentum kebaikan pada malam-malam yang penuh berkah. Agar waktu-waktunya (yang sangat istimewa) terisi dengan ibadah. Karena hal itu merupakan tawaran (berharga) dalam hidup dan bonus (yang yang menjanjikan) bagi siapa saja yang mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Majalis Syahr Ramadhan, hal: 154-155).

• Waspadai pembatal-pembatal pahala puasa

Saudaraku,
Perusak (pahala) puasa secara maknawi, yani setiap ucapan atau perbuatan terlarang di luar puasa, maka sudah barang tentu diharamkan pula dan bahkan berlipat ganda dosanya sewaktu berpuasa. Misalnya; menggunjing dan adu domba, mencela dan menghina orang lain, perkataan dusta, melihat hal-hal yang diharamkan Allah, memandang foto-foto yang mengundang birahi, menonton film-film yang mengumbar aurat, mendengarkan sesuatu yang diharamkan Allah, menikmati nyanyian yang melupakan dari zikir dan yang senada dengan itu.

Bentuk-bentuk larangan tersebut akan merusak pahala puasa dan mendatangkan dosa (bagi pelakunya).
Puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan dan minum. Bukan pula hanya sebatas menahan diri dari lapar dan dahaga saja. Tetapi puasa berarti meninggalkan pula segala hal yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang terlarang (dalam agama) dan mengandung dosa.
Perut dipuasakan dari mengkonsumsi makanan dan minuman. Kemaluan dipuasakan dari kontak hubungan intim. Mata dipalingkan dari pandangan yang diharamkan agama. Sedangkan lisan, dijauhkan dari ucapan yang tercela dan mengandung dosa.

Meninggalkan makan dan minum tidaklah cukup bagi orang yang berpuasa tanpa menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang diharamkan (Allah). Jika (rambu-rambu tersebut dilanggar), maka puasa yang dilakukannya hanya sebatas meletihkan tubuhnya tanpa ada faedah (pahala) yang diraihnya, dan sekadar ukiran amal (shalih) tanpa ada ganjarannya.

Oleh karena itu bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pelaksanaan puasa, dan berpegang teguh kepada kitab suci Tuhan kita dan sunnah Nabi kita merupakan kunci kesuksesan dalam pelaksanaan puasa.” (Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, Al Khuthab al Minbariyah fi al Fatawa al Ashriyah, jilid 2 hal: 389).

• Ada keluasan rezki, jangan lupa umrah di bulan Ramadhan

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan pahala haji.” (HR. Bukhari).
Ibnu Utsaimin rahimahullah menuturkan, “Umrah di bulan Ramadhan berbanding pahala haji. Sama saja, apakah umrah itu dilakukan di awal bulan, pertengahan ataupun di akhir Ramadhan. Tidak diragukan bahwa hari dan malam-malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan lebih baik (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) daripada hari-hari dan malam-malam di permulaan maupun pertengahan Ramadhan. Demikianlah semakin baik waktu di sisi-Nya, maka semakin baik pula amal shalih yang diperbuat di dalamnya.” (Fatawa fi Ahkami al-Shiyam, hal: 461).

• Persiapkan diri menyambut malam al-Qadar

Saudaraku,
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar (qiyamul-lail), karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka pastilah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih).

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sabda beliau “karena iman dan mengharap pahala” maksudnya adalah karena iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meyakini kepastian pahala yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang menghidupkan malam al-Qadar dengan mengharapkan pahala dan mengejar balasan (yang baik) dari-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala merahasiakan waktu terjadinya lailatul qadar atas hamba-hamba-Nya sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap mereka. Supaya mereka banyak melakukan amal shalih pada malam-malam Ramadhan yang mulia, dengan memperbanyak shalat malam, dzikir dan do’a. Jika demikian, maka ia semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertambah pula pahala yang didapatnya.” (Majalis Syahr Ramadhan, hal: 161-163).

Aisyah radhiallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Bagaimana petunjukmu jika aku mengetahui bahwa malam itu adalah lailatul qadar, apa yang sebaiknya aku baca pada saat itu?.” Beliau menjawab, “Ucapkanlah:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af dan menyukai kema’afan, maka dari itu ma’afkanlah kesalahan-kesalahanku.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh syekh Al-Albani).





Post a Comment

أحدث أقدم