Penerapan Hukum Islam Atau Ilmu Fiqih

Tasyri’ Islam merupakan merupakan salah satu aspek terpenting yang diatur dalam risalah Islam dan sekaligus mencerminkan sisi ilmiah dari risalah ini. Hukum Islam yang murni seperti hukum-hukum ibadah bersumber pada wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang tercantum di dalam Al Quran, sunnah atau ijtihad yang telah ditetapkan (aturan-aturannya). Dalam hal ini, tugas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyampaikan dan memberikan penjelasan tentang risalah yang diembannya.

Allah subhanahu  wa ta’ala berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An Najm 3-4)

Adapun ketentuan hukum yang berkaitan dengan urusan duniawi seperti peradilan, politik dan peperangan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikannya. Terkadang, beliau mengemukakan suatu pendapat, kemudian menariknya kembali berdasarkan pendapat shahabat yang lebih baik. Beliau tidak segan-segan untuk menarik kembali pendapatnya dan menerima pendapat para shahabat, sebagaimana yang terjadi ketika Perang Badar dan Uhud.

Demikian juga para shahabat, mereka datang meminta pandangan dan pendapat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan perkara yang tidak mereka ketahui. Bahkan ada dianatara mereka yang hanya datang untuk meminta penjelasan atas maksud yang tertera dalam nash-nash, dengan tujuan untuk memastikan pemahaman yang selama ini dipahami, apakah benar atau tidak. Dalam keadaan seperti ini beliau terkadang membenarkan pemahaman yang dikemukakan oleh shahabatnya dan terkadang juga menjelaskan letak kesalahan mereka.

Kaidah-kaidah umum dalam menetapkan suatu ketentuan sebagaimana yang digariskan oleh Islam dan harus dijadikan sebagai panduan oleh kaum Muslimin adalah sebagai berikut.

1. Dilarang membahas suatu hukum atas suatu peristiwa yang belum terjadi sehingga peristiwa tersebut benar-benar terjadi secara nyata.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Ma’idah: 101)
Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  melarang membicarakan yang belum terjadi.[1]

2. Menjauhi banyak bertanya dan memutarbalikkan permasalahan sehingga menjadikannya sulit.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam   bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak senang atas diri kalian perkataan ini dan itu, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.”[2]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya; menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kamu melanggarnya; mengharamkan beberapa larangan, maka janganlah kamu melanggarnya; mendiamkan atas suatu perkara sebagai rahmat bagi kalian, tidak karena lupa, maka janganlah kamu membahasnya.”[3]

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang paling besar dosanya adalah orang yang menanyakan suatu perkara yang tidak diharamkan, lantas ia diharamkan karena pertanyaaanya itu.”[4]

3. Menghindari perselisihan dan perpecahan dalam permasalahan agama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al Mu’minun: 52)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” (Ali Imran: 103)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”  (Al Anfal: 46)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (Al An’am: 159)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Serta mereka juga menjadi tercerai-berai” (Ar Ruim: 32)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Ali Imran 105)

4. Mengembalikan permasalahan yang diperdebatkan kepada Al Quran dan Sunnah.
Hal tersebut merupakan implementasi dari firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (An Nisa’: 59)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy Syura’: 10)
Hal ini disebabkan karena ajaran Islam telah diuraikan dengan begitu jelas di dalam Al Quran.  Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An Nahl: 89)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab.” (Al An’am: 38)

Di samping penjelasan Al Quran, sunnah Amaliyah (perilaku Rasulullah) juga merupakan pegangan kedua yang turut menguraikan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan ajaran agama.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamau menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An Nahl: 44)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (An Nisa’: 105)

Dengan demikian, ajaran agama Islam telah sempurna dan tujuan dari syariat yang ada di dalamnya juga sudah jelas. Hal ini diperkuat dengan firman Allah, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Ma’idah: 3)

Jadi, semua permasalahan agama telah diuraikan dengan begitu jelas dan dalil yang menjadi landasannya adalah kuat, maka perbedaan pendapat tidak lagi berpengaruh dan memiliki ruang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).”  (Al Baqarah: 176)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),” (An Nisa’: 66)

Para sahabat dan generasi berikutnya yahg diakui sebagai generasi saleh, telah mengamalkan kaidah-kaidah yang ada dalam menggali hukum-hukum Islam. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka sangatlah terbatas. Itu pun hanya dipicu karena adanya perbedaan tingkat pemahaman mereka dalam memahami sebuah nash, di mana sebagian mereka mengetahui atas sesuatu permasalahan, sedangkan sebagian yang lain tidak mengetahuinya. Ketika muncul imam mazhab yang empat, mereka juga mengikuti tradisi generasi sebelumnya. Meskipun di antara mereka masih didapati perbedaan, di mana yang satu lebih mengutamakan pendekatan Sunnah dalam menggali hukum, seperti ulama Hijaz yang sangat terkenal sebagai penghimpun Sunnah dan perawi hadits. Sedangkan sebagian yang lain lebih mengedepankan pendekatan akal dalam menggali hukum, seperti ulama Iraq. Sehingga sangat minim ditemukan pakar hadits dari kalangan mereka. Hal ini disebabkanjauhnya negeri mereka dari tempat turunnya wahyu.

Imam-imam mazhab yang empat telah mencurahkan segala daya dan upaya mereka untuk memperkenalkan agama ini kepada umat manusia dan membimbing mereka menuju jalan yang benar pada waktu yang bersamaan, me5eka melarang umat Islam melakukan taqlidkepada mereka. Mereka berkata, “Tidak seorang pun dibenarkan mengikuti pendapat kami tanpa mengetahui dalil yang kami gunakan dalam menentukan hukum terlebih dahulu.” Bahkan dengan tegas mereka menyatakan bahwa mazhab mereka adalah hadits yang sahih. Mereka tidak menginginkan sekiranya pendapat dan ijtihad mereka dijadikan sebagai pegangan begitu saja seperti Rasulullah saw. yang makshum (terpelihara dari berbagai kesalahan). Tujuan mereka beristimbath dalammenentukan hukum hanyalah membantu umat Islam dalam memahami hukum-hukum Allah dengan cara yang benar.

Namun, generasi setelah mereka mulai memperlihatkan niat yang lemah dan tekad yang rapuh bahkan tabiat meniru dan taqlid (mengikuti tanpa mengetahui landasannya) kian subur dalam diri mereka; masing-masing golongan merasa cukup mengikuti satu mazhab tertentu sebagai pegangan, pedoman, dan panduan yang dipegang dengan begitu fanatik. Segala daya dan upaya dicurahkan demi membela dan mempertahankan mazhabnya.[5] Bukan hanya itu, pendapat Imam pun dianggap sebagai firman Ilahi. Mereka tidak memperkenankan mengeluarkan fatwa yang berkaitan suatu permasalahan apabila bertentangan dengan istimbath yang telah dilakukan oleh mereka. Bahkan sikap d\fanatik yang berlebihan terhadap imam-i mam mereka mendorong Al Kurkhi berkata, “Setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat sahabat-sahabat kami hendaklah ditakwilkan atau dinasakh (dihapus).”

Taqlid dan ta’ashshub (fanatik) terhadap mazhab tertentu menjadikan umat lslam kehilangan petunjuk Al Quran dan Sunnah, yang pada gilirannya disusul dengan pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Maka, jadilah syariat ssebagai pendapat fuqaha (ahli fikih) d,\an pend.apat fuqaha itulah yang menjadi syariat. Sedangkan setiap orang yang berseberangan dengan pendapat fuqaha, mereka dipandang sebagai ahli bid’ah, perkataannya tidak dapat dipercaya, dan fatwanya tidak dapat diterima.

Dii antara faktor-faktor penyebab kemunduran umat adalah aktifitas yang dilakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa yang mendirikan sekolah-sekolah dengan menerapkan sistem pembelajarannya hanya bertumpu pada salu mazhab atau beberapa mazhab saja. Inilah yang menyebabkan munculnya fanatisme mazhab yang kemudian diikuti dengan gerakan anti ijtihad. Semua itu dilakukan hanya untuk meraih keuntungan sekaligus mempertahankan gaji yarg menjadi penghasilan guru-guru yang turut mengajar di sekolahnya!

Pada suatu ketika, Abu Zar’ah bertanya kepada gurunya, Al Bulqini, “Apa yang menyebabkan Syaikh Taqiyuddin As Subki enggan berijtihad, padahal bcliau sudah memiliki syarat-syarat yang memadai untuk melakukan ijtihad?”

Mcndengar pertanyaan itu, Al Bulqini terdiam. Karena gurunya hanya diam saja, dengan agak segan Abu Zar’ah mengatakan, “Menurutku, keengganannya untuk bcrijtihad disebabkan tugas dan kedudukan yang telah ditetapkan kepada para fuqaha untuk tetap mengikuti mazhab empat saja. Siapapun yang berani keluar, tentu tidak memperoleh kedudukan apapun, termasuk dilarang memangku jabatan hakim, bahkan orang lain tidak mau mendengar fatwanya. Lebih dari itu, ia akan dituduh sebagai ahli bid ah.”
Mendengar perkataan itu, Al Bulqini pun tersenyum dan menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh muridnya.

Keterlenaan dengan taqlid dan pengabaianterhadap Al Quran dan Sunnah sehagai panduan hidup dalam memperoleh hidayah serta munculnya pernyataan bahwa pintu ijtihad telah ditutup menjadikan umat Islam terjerumus dalam bencana dan terperangkap dalam pandangan sempit, ibarat terperangkap ke dalam lubang katak. Inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sejak dulu, agar umat Islam selalu waspada, agar tidak terjerumus dalam kondisi seperti ini.

Akibatnya, umat Islam terpecah menjadi berbagai kelompok dan golongan hingga mereka berselisih mengenai sah atau tidaknya seorang perempuan bermazhab Hanafi menikah dengan laki-laki yangbermazhab Syafi’i.[6]  Sebagian mereka berpendapat tidak sah, sebab perempuan tersebut masih ragu-ragu dalam keimanannya.[7] Sebagian yang lain berpendapat sah, dengan alasan mengqiyaskannya pada perempuan Ahli Dzimmah.

Munculnya taqlid buta, pengabaian Al Quran dan Sunnah sebagai sumber hidayah, yang diikuti dengan pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, telah menumbuhkan perbuatan bidah, melemahkan panji-panji Sunnah, menjadikan gerakan pemikiran semakin mundur ke belakang dan stagnan, serta menjadikan riset ilmiah semakin menghilang dari kehidupan. Inilah yang menyebabkan lemahnya kepribadian umat, lenyapnya kehidupan dalam berkarya serta menghambat kemajuan dan perkembangan. Dan dari sinilah orang asing melihat celah-celah kelemahan Islam dan berusaha untuk menghancurkannya.

Tahun demi tahun berlalu dan abad demi abad silih berganti. Dalam sepanjang masa tersebut, Allah membangkitkan tokoh pembaharu kepada umat ini untuk menyegarkan kembali ajaran agama Islam, membangkitkannya dari tidur yang berkepanjangan, dan mengarahkannya menuju jalan yang benar. Namun, kesadaran untuk maju seperti sebelumnya, tidak kunjung ada, bahkan mereka lebih buruk dari sebelumnya.
Akhirnya, Tasyri’ Islam yang awalnya diturunkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan manusia dan sebagai bekal dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat, hancur berserakan,laksana sebuah benda yangjatuh menghunjam ke dasar jurang. Sehingga yang mempelajarinya dapat menjadikan akal dan nuraninya rusak, bahkan ia hanya menyia-nyiakan waktu. Keadaan seperti ini tidak akan mendatangkan manfaat apapun dalam agama Allah dan tidak dapat mengatur kehidupan manusia dengan baik, sesuai dengan ajaran Islam yang benar.

Berikut ini satu contoh yang ditulis oleh seorangahli fikih muta’akhirin Ibnu ‘Arafah. Ia mendefinisikan “Makna al ijarah (akad sewa) sebagai menjual manfaat suatu benda yang dapat dipindahkan selain kapal dan hewan yang tidak berakal, dengan bayaran yang tidak dihasilkan dari manfaat tersebut, tetapi sebagian dari benda tersebut dapat dibagi-bagikan atau dipisah-pisahkan disesuaikan dengan manfaatnya.” Salah seorang muridnya mengkritik definisi tersebut, sebab kata “sebagian” terlalu bertele-tele dan tidak perlu disebutkan. Akhirnya, sang guru meminta waktu dua hari untuk memberikan jawaban. Namun, jawaban yang diberikan jauh lebih bertele-tele dibanding pendefinisian sebelumnya.

Begitulah adanya, sehingga Tasyri’ Islami berhenti sampai di situ, tanpa ada kemajuan, sedangkan para ulama hanya mampu membahas dan menghafal isi buku yang sudah ada. Mereka hanya mengetahui syarah, catatan lampiran, kritikan dan teka-teki yang ada di dalarmnya termasuk berbagai ketetapan. Inilah yang merangsang bangsa Eropa untuk menjajah bangsa Timur dengan memporak-porandakannya, seakan tangannya menampar sementara kakinya juga ikut menendang. Ketika mereka mulai sadar akibat serangan gencar bangsa Eropa sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata mereka adalah bangsa yang tertinggal di tengah keganasan hidup yang sedang bergerak maju. Dirinya ternyata hanya mampu duduk sementara kafilah terus berjalan menyongsong kemajuan

Ketikda itu mereka menyadari bahwa diri merekaberada di dunia yang serba baru; serruanya itemiliki semangat hidup, bertenaga dan kreatif. Dari sini mereka terperanjat melihat apa yang telah terjadi dan merasa heran dengan apa yang disaksikannya. Mereka yang mengingkari keunggulan sejarah Islam, durhaka kepada nenek moyangnya, Iupa ajaran agama dan tradisi mereka, berteriak dengan lantang, “Wahai bangsa Timur! Inilah bangsa Eropa! Ikutilah jalan yang ditempuhnya. Jadikanlah ia sebagai contoh dalam segala hal; baik maupunburuknya, iman maupun kafirnya, manis atau pahitnya!”

Sedangkan golongan yung jumud juga tnengambil sikap negatif. Mereka hanya mampu berzikir dan bertasbih. Bahkan mereka melarikan diri dari realitas serta mengurung diri di dalam rumah. Hal ini lebih mempertegas dugaan yang menyatakan bahwa syariat lslam tidak dapat mengikuti perkembangan dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Akibatnya, hukum negara asing menguasai kehidupan Timur. Meskipun pada hakikatnya bertentangan dengan agama, tradisi, dan adat-istiadat yang berlaku. Gaya hidup Eropa menjajah hingga ke rumah-rumah, jalanan, sekolah-sekolah, tempat pertemuan, dan pergururan tinggi. Arus gelombang budaya Eropa kian kuat dan hampir menguasai seluruh aspek kehidupan, hingga seakan bangsa Timur melupakan agama dan tradisinya. Jika keadaan ini terus berlanjut tanpa ada usaha untuk membenahinya, tidak berlebihan jika pada akhirnya budaya Eropa akan memutuskan hubungan antara masa kini dengan masa lalu sejarah Islam yang penuh dengan kegemilangan. Namun perlu diingat bahwa bumi ini tidak pernah sunyi dari orang-orang yang senantiasa mempertahankan agama Allah. DI tengah keadaan yang serba tidak menentu ini, bangkitlah tokoh-tokoh reformasi yang meneriakkankepad mereka yang terlena dengan kegemilangan barat.

“Berhati-hatilahl Hentikan propagandamu! Kerusakan moral yang dialami bangsa Barat belakangan ini pasti berakhir dengan malapetaka. Selama mereka tidak memperbaiki jiwa mereka dengan keimanan yang benar, dan mendidik mental mereka dengan akhlak mulia, maka ilmu pengetahuan mereka akan menjadi alat penghancur dan pemusnah. Tidak hanya itu, peradaban mereka akan berubah menjadi neraka yang akan menelan sekaligus memusnahkan mereka sendiri. Inilah yang dialami oleh bangsa-bangsa terdahulu yang kufur dan durhaka, di mana ilmu pengetahuan mereka berbalik menjadi alat pemusnah bagi diri mereka sendiri sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya.

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhsnmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? (yaitu) penduduk lram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenangwenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab, sesungguhnya Tuhsnmu benar-benar mengawasi.” (Al Fajr: 6-14)

Kemudian, tokoh-tokoh reformasi itu menyeru mereka yang memilih jalan kemunduran dan keterbelakangan, “Carilah sumber yang murni dan petunjuk yang mulia, yaitu sumber dari AI Qur’an dan petunjuk dari Sunnah! Ladikanlah keduanya sebagai sumber bagi agamamu dan sampaikan berita gembira ini kepada orang lain. Dengan demikian, dunia yang sedang kebingungan ini akan mendapat pegangan dan umat manusia yang sedang didera penderitaan dapat merasakan kebahagiaan.”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)

Dengan karunia Allah, seruan ini mendapat sambutan dari banyak orang, diterima oleh mereka yang berjiwa ikhlas dan dianut oleh generasi muda yang bersedia menyerahkan segala yang dimilikinya, baik berupa harta maupun jiwa.

Akhirnya, semoga Allah mengizinkan cahaya-Nya untuk menyinari kembali bumi yang gelap ini. Bersediakah umat manusia untuk hidup bahagia, penuh dengan keimanan, kasih sayang, ihsan dan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui ayat-ayat berikut,
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama .yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagi saksi.” (Al Fath 28)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fushshilat: 53)


[1] HR Abu Dawud kitab Al Ilm bab At Tawaqqi fi Al Futya (3656) jilid IV hlm. 65. Musnad Ahmad jilid V hlm 435. Di sini, Al Auza’i memberi komentar terhadap hadits ini dengan berkata, “Al lughathat: masalah-masalah yang sulit dan berat untuk dilaksanakan.” Hadits ini diklasifikasikan dalam hadits shahih oleh Al Albani. Lihat Tamam Al Minnah (45) dan Dha’if Al Jami’ (6048).

[2] Musnad Ahmad jilid IV hal 249. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Al Mughirah bin Syu’bah dengan lafal, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan kepada kalian mendurhakai ibu … dan membenci kamu apabila banyak mengatakan ini dan itu….” Lihat Shahih Al Jami’, hal 1895 dan Mukhtashar Shahih Muslim, hal 1236.

[3] HR Daruquthni dalam Sunan-nya jilid IV hal 184. Hakim dalam Al Mustadrak jilid IV hal 115. Baihaqi dalam As Sunnan Al Kubra jilid X hal 12-13 dan dikategorikan sebagai hadist hasan oleh Al Albani dalam Ghayah Al Maram dan tahqiqnya dalam kitab Riyadh Ash Shalihin (1841)

[4] HR Bukhari kitab Al I’tisham bab Ma Yukrah min Katsrah As Su’al wa Takalluf ma la Ya’nih jilid IX hal 117. Muslim kitab Al Fadha’il bab Tauqiruhu shalallahu alaihi wasallam wa Tarku Iktsar Su’alihi amma la Dharurata ilaihi (132) jilid IV hal 1833. Musnad Ahmad jilid I, hal 179.

[5] Pembahasan terperinci mengenai masalah ini dapat dilihat dalam kitab Hadza Had Nabiyyina Shalallahu ‘alaihi wa Sallam Ilaina’ karya Syaikh Musthafa bin Salamah. Dalam kitab tersebut tercantum berbagai contoh dan kesesatan dan kesesatan yang menyimpang dari Al Quran dan As Sunnah serta yang dipakai sebagai pegangan bagi sebuah pendapat, dipaparkan dan dibahas secara terperinci dalam buku itu.

[6] Bahkan ada sebagian pengikut mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa ketika Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salam turun ke bumi kelak, beliau akan memberlakukan hukum berdasarkan pada Mazhab Hanafi.

[7] Hal ini disebabkan dalam Mazhab Syafi’i memperbolehkan seorang Muslim mengatakan, “Saya beriman, insya Allah.” Perkataan ini, sudah cukup dikatakan beriman.






Post a Comment

أحدث أقدم