Hukum Dakwah

Hukum Dakwah

Oleh. Nur Ariyanto
Sahabat Saungmuslim yang berbahagia, dakwah merupakan seluruh aktivitas dan upaya menyiarkan dan menyebarkan ajaran Islam kepada manusia, baik yang sudah beriman maupun yang belum, muslim ataupun non muslim. Dakwah pada dasarnya merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh umat Islam sesuai kemampuannya. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104 Allah SWT berfirman :


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
    “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs. Ali-Imron:104).

Sedangkan dalam sebuah Hadits disebutkan :

فَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَبْلِيْغِ عَنْهُ حَيْثُ قَالَ بَلِغُوْا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (الحديث رواه البخاري)

                        “Sesungguhnya telah betul-betul memerintahkan dengan tabligh darinya, berkata Nabi : “Sampaikanlah apa yang kamu terima dari aku walaupun satu ayat” (Bukhari,  3/1275 no. 3274)

Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang telah disebutkan di atas seluruh ulama sepakat bahwa hukum dakwah adalah wajib. Yang masih menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban itu dibebankan kepada setiap individu muslim (fardhu ain) atau kewajiban itu hanya dibebankan kepada sekelompok orang saja (fardhu kifayah) (Aziz, 2004 :42).

Dalam “Fiqhud Dakwah,” M. Natsir memberikan pemahaman bahwa dakwah merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Lebih lanjut ia menegaskan kalau dakwah dalam arti yang luas menjadi kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah. Tidak boleh seorang muslim dan muslimah menghindarkan diri dari padanya” (Natsir, 2000: 109). Dalam hal ini Natsir cenderung berpendapat bahwa hukum dakwah adalah fardlu ain. Hal ini sesuai dengan surat Ali-Imron:104 yang disebutkan di atas di atas karena terdapat kata (minkum) yang bisa berarti kamu semua yang dalam gramatika bahasa Arab biasa disebut dengan li al-bayan.  Bukan untuk menunjukkan sebagian (li al-tab’idh) sebab Allah telah mewajibkan dakwah kepada umat Islam secara keseluruhan  (Aziz, 2004: 43).

Dikutip Ali Azis, lebih lanjut M. Natsir menegaskan bahwa tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan, bukan monopoli golongan yang disebut ulama atau cendikiawan. Karena suatu masyarakat tidak akan mendapat kemajuan apabila anggotanya yang memiliki ilmu sedikit ataupun banyak, baik ilmu agama atau ilmu dunia tidak bersedia mengembangkan apa yang ada pada mereka untuk sesamanya (Aziz, 2004: 43)

Senada dengan itu, sebelumnya Ahmad Hasymi mengatakan sesungguhnya dakwah itu bukan tugas kelompok yang khusus di mana orang lain terbebas dari tanggung jawab sebagaimana tiap-tiap muslim dibebankan tugas-tugas shalat, zakat, bersikap benar dan jujur. Maka setiap muslim diwajibkan memindahkan keimanan di dalam hati yang kosong menuntun orang yang bingung dan berpulang ke jalan Allah yang lurus. Karena itu dakwah ke jalan Allah sama dengan jalan keutamaan jiwa dan tugas-tugas syari’ah yang tidak khusus dengan seorang muslim saja, tetapi mencakup semua muslim (Hasymi, 1971:161).

Dalam perspektif yang lain, ulama yang mengatakan bahwa dakwah itu wajib kifayah (wajib kolektif) bagi sekelompok orang-orang saja juga  bersandar pada ayat yang sama yaitu Ali Imran ayat 104 tetapi dengan penafsiran yang berbeda. Menurut mereka arti “min” dalam surat tersebut adalah “sebagian dari kamu”, sebab di antara umat Islam itu ada beberapa orang yang tidak mampu melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar karena berbagai sebab. Sebagian ulama yang lain berkata bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi orang yang berilmu (ulama) dan penguasa (umara’). Oleh karena itu makna berilmu dalam ayat di atas adalah hendaklah sebagian dari kamu ada kelompok yang ber-amar ma’ruf nahi munkar (Aziz, 2004 : 44).

Dikutip Ali Azis, ulama dakwah seperti Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum muslimin haruslah membagi peran dalam kegiatan untuk sempurnanya risalah dakwah ini seperti halnya kerajaan lebah yang membagi-bagi tugasnya untuk bergotong-royong. Apalagi saat ini manusia berada dalam suatu zaman dimana spesialisasi ilmu pengetahuan menjadi khasnya. Dalam zaman ini ilmu pengetahuan telah melaut sebegitu rupa, oleh karena itu patutlah sekelompok ulama mengkhususkan diri dengan mempelajari dakwah Islam saja. Mereka yang menghabiskan usianya dengan maksud inilah yang disebut (du’ah ila Allah) juru dakwah ke jalan Allah (Aziz, 2004 : 44).

Kedua pendapat di atas, yakni pendapat yang mengatakan hukum dakwah wajib ‘ain (setiap individu) maupun yang mengatakan dakwah adalah wajib kifayah (kolektif) sama-sama memiliki argumentasi aqliyah dan naqliyah, akan tetapi secara aqliyah keduanya mengandung beberapa persoalan. Kalau dakwah wajib ‘ain kita berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak semua umat Islam karena keterbatasan ilmu dan ketidakmampuan lainnya, bisa melaksanakan dakwah. Sedangkan kalau tahu wajib kifayah akan berakibat pada tanggung jawab setiap individu untuk mengemban amanat dakwah. Padahal kelebihan Islam dibanding dengan agama-agama lain dalam menyebarkan agama adalah kelebihan pada tanggung jawab setiap individu muslim sebagai da’i juru dakwah di dalam segala lapangan profesi dan kehidupan tanpa adanya komando dan pada umumnya tanpa diorganisir oleh organisasi dakwah (Aziz, 2004 : 45).

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum perintah berdakwah, kiranya hal itu tidak perlu dipersoalkan mengingat mengajak manusia untuk menjalankan suatu hal yang baik atau yang diridhai oleh Allah adalah merupakan suatu kebutuhan. Lebih-lebih menyadari atas kondisi masyarakat yang berada dalam kondisi keterpurukan yang akan berdampak pada eksistensi Islam dan umatnya. Oleh karena itu, dakwah perlu segera digalakkan dan dikembangkan.

                _______________________

            Rujukan:

Azis, Moh. Ali, 2004, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana.

Natsir, Mohammad, 2000, Fiqhud Dakwah, Jakarta: Media Dakwah.

Kemenag RI, 2012, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Kemenag RI.

Shahih Bukhari.

                                                            

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama