Bimbingan dan Konseling Gestalt

Bimbingan dan Konseling Gestalt

I.PENDAHULUAN
Hilangnya ketenangan, keberartian hidup, perhatian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan hidup yang bersifat spiritual terus menghantui kehidupan manusia modern. Berbagai macam kemudahan yang diraih manusia melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menjawab hal-hal esensial kehidupan tersebut. Akibatnya manusia berada dalam krisis spiritual dan menuju pada kehancurannya sendiri (Badri, 1996:ii). Oleh karena itu tidak mengherankan kalau disekitar kita sering ditemukan orang yang yang secara meteri tergolong sejahtera, tetapi memiliki masalah kejiwaan yang terkadang sampai pada tahap yang kronis.

Terkait penyakit jiwa, semua orang pasti mengalaminya. Ia bisa menyerang siapa saja baik orang kaya maupun miskin, orang awam maupun terpelajar, rakyat jelata ataupun para pejabat. Yang menjadi permasalahan ialah ketika seseorang mengalami gangguan psikologis seperti stress dan lain sebagainya justru terkadang  lari kepada hal-hal yang negatif.

Kalau penyakit fisik memerlukan penanganan medis  untuk penyembuhannya, yang dalam ini dilakukan oleh para dokter. Adapun untuk penyakit jiwa diperlukan konseling untuk membantu menyelesaikannya dan dalam hal ini dilakukan oleh para konselor.

Bimbingan dan konseling merupakan ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang memerlukan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau masalah yang mungkin akan dihadapinya. Dengan demikian bantuan yang diberikan dalam bimbingan, konseling, dan psikoterapi dapat berupa bantuan preventif, kuratif, diagnostik maupun pengembangan (Nurhayati, 2011:vii)

Secara aplikatif, bimbingan dan konseling yang merupakan pelayanan dari, untuk, dan oleh manusia yang memiliki pengertian yang khas. Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu dengan menggunakan berbagai prosedur, cara dan bahasa agar individu tersebut mampu mandiri dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Sedangkan konseling merupakan pemberian bantuan yang didasarkan pada prosedur wawancara konseling oleh konselor kepada klien yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.

Bimbingan dan konseling memiliki tujuan yang terdiri atas tujuan umum dan khusus. Tujuan umum bimbingan dan konseling membantu individu agar mencapai perkembangan secara optimal sesuai dengan hakikat kemanusiaannya dengan berbagai potensi, kelebihan, kekurangan dan kelemahannya serta permasalahannya. Tujuan khusus bimbingan dan konseling langsung terkait pada arah perkembangan klien dan masalah-masalah yang dihadapi.

Sejalan dengan dinamika kehidupan, kebutuhan akan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada lingkungan formal seperi sekolah. Saat ini sedang dikembangkan pula pelayanan bimbingan dan konseling dalam setting yang lebih luas, seperti dalam pra nikah, pernikahan, keluarga, keagamaan, lingkungan pekerjaan, lanjut usia, dan masyarakat luas lainnya, yang kesemuanya itu membawa konsekuensi tersendiri untuk kepentingan tersebut. Bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan masyarakat karena populasi yang beragam dan sejumlah tipe serta ciri problem manusia yang makin meluas.

Dengan populasi yang beragam maka ciri problem manusia pun meluas. Oleh karena itu, diperlukan konselor sebagai profesi penolong (helping profession). Konselor diharapkan dapat membantu problema-problema masyarakat saat yang makin meluas sehingga dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi masyarakat mandiri. Dengan berkaca dari hal tersebut, maka diperlukan konselor dalam bidang bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga, keagamaan, lingkungan pekerjaan, serta pula untuk lanjut usia.

Dalam konseling sendiri terdapat banyak pendekatan yang bisa dipakai, salah satunya adalah Konseling Gestalt yang akan akan diuraikan dalam makalah ini.


II.                PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian di atas ada beberapa permasalahan yang bisa dikemukan, yaitu: Bagaimana konsep konseling gestalt dan aplikasinya dalam bimbingan dan konseling?


III.             PEMBAHASAN

1.      Sekilas Tentang Konseling Gestalt

                Terapi Gestalt di populerkan salah satunya oleh Frederick (Fritz) Salomon Perls (1983-1970). Menurutnya Terapi Gestalt merupakan pendekatan eksistensial “yang tidak hanya sibuk dengan hanya mengatasi gejala-gejala atau struktur kharakter, tetapi dengan eksistensi total seseorang”. Gestalt sendiri merupakan salah satu bentuk  dari terapi eksistensial selain ‘logoterapi’ Frankl dan ‘terapi daseins’ Binswanger (Jones, 2011:181).

                Konseling Gestalt banyak meyandarkan teorinya pada Psikologi Gestalt yang menjadi mazhab utama Psikologi selama awal abad ke-20 yang terpusat pada Max Wertheimer (1880-1943) dan dua rekannya yang lebih muda, Kurt Koffka (1886-1941), dan Wolfgang Kohler (1887-1967) (Richard, 2010:121).  Secara umum sebenarnya Mazhab Gestalt berkembang subur di jerman sejak 1911 sampai awal 1930-an, dan kemudian di Amerika Serikat sampai sekitar 1940-an, dimana ketiga orang ini menetap.

                Gestalt dalam bahasa Jerman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (Hartono, 2012:161). Dalam bahasa Inggris gestalt berarti form, shape, configuration, whole. Sedangkan dalam bahasa Indonesia bisa bermakna “bentuk” atau “konfigurasi”, “hal”, “peristiwa”, “pola”, “totalitas”, atau “bentuk keseluruhan” (Sobur, 2003:116).

                Menurut aliran gestalt, yang utama bukanlah elemen tapi keseluruhan. Kesadaran dan jiwa manusia tidak mungkin dianalisis ke elemen-elemen. Gejala kejiwaan harus dipelajari sebagai suatu keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan adalah lebih pada sekedar penjumlahan unsur-unsurnya. Keseluruhan itu lebih dahulu ditanggapi dari bagian-bagiannya, dan bagian-bagian itu harus memperoleh makna dalam keseluruhan. Artinya, makna gestalt itu bergantung pada unsur-unsurnya dan sebaliknya unsur-unsur itu tergantung pada gestalt (Marliani, 2010:157).

                Adapun tujuan dasar konseling dalam terapi ini adalah untuk meraih kesadaran (awareness) terhadap apa yang dialami oleh konseli dan kemudian konseli bertanggungjawab terhadap apa yang dirasakan, dipikirkan dan dikerjakan. Untuk itu maka terapi ini lebih mengutamakan keadaan di sini dan saat ini (here and now) (Hartono, 2012:161).

                Terapi gestalt menolak pencarian alasan tentang sebab-sebab terjadinya suatu perilaku, pemikiran atau perasaan yang terjadi, tetapi lebih mengutamakan meminta individu untuk mencoba aktivitas baru yang telah didesain untuk meningkatkan kesadaran. Dengan demikian konseli akan mengalami sendiri apa yang dilihatnya, apa yang dirasakannya dan apa yang diinterpretasikannya, sehingga konseli dalam keadaan aktif dan tidak menunggu terapis untuk meningkatkan kesadarannya. Terapi gestalt tidak mengutamakan adanya penerimaan sosial seperti pada behavioristik atau improvisasi hubungan interpersonal seperti dalam humanistik, tetapi lebih pada bagaimana individu dapat memperoleh kesadaran dan berfungsi secara efektif (Hartono, 2012:161).


2.       Pandangan tentang manusia

                Sebagaimana pandangan person centered, gestalt memandang pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai suatu fenomena yang unik, dimana Perls mengembangkan terapi gestalt ini dengan menggunakan prinsip-prinsip humanistik. (Hartono, 2012:161). 

                Dalam gestalt ada delapan asumsi yang dipakai:

a.       Manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interelasi bagian-bagian. Tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi, dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia secara keseluruhan.

b.      Seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya.

c.       Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor.

d.      Seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi dan persepsinya.

e.       Seseorang mampu membuat pilihan karena kesadarannya.

f.       Seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupannya secara efektif.

g.      Seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang. Mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini. Seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk. (Hartono, 2012:162).


3.      Indikator manusia sehat/tidak sehat.

a.      Manusia sehat

            Dalam terapi gestalt diberikan beberapa indikator kepribadian yang sehat, diantaranya;

1)      Mampu mengatur dirinya sendiri.

Pendekatan gestalt percaya bahwa seseorang ditakdirkan untuk mampu mengatur dirinya sendiri dalam menghadapi situasi-situasi dan permasalahan-permasalahan yang belum selesai. Orang yang sehat mampu mengatur diri mereka sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak luar.

2)      Bertanggung jawab

Sesuai dengan uraian diatas, seseorang dikatakan sehat apabila mereka dapat mempertanggungjawabkan serta mengambil resiko yang akan terjadi sebagai hasil dari perbuatannya. Tanggung jawab ini muncul sebagai akibat adanya kesadaran diri dalam melakukan suatu kegiatan.

  3)      Memiliki kematangan

Kematangan yang dimaksud di sini ialah kesadaran seseoarang terhadap diri dan lingkungannya.

4)      Memiliki keseimbangan diri

Keseimbangan yang dimaksud ialah keseimbangan antara dirinya saat ini, dan keseimbangan lingkungan disekitarnya. (Hartono, 2012:163).


b.      Manusia tidak sehat

            Dalam gestalt diberikan beberapa ciri kepribadian yang menyimpang, diantaranya adalah;

1)       Introjection (Introyeksi)

Introjective mempunyai makna penggabungan image sebuah objek atau individu ke dalam sebuah psyche; penyimpangan perasaan dalam image suatu objek atau seseorang ketimbang dalam objek atau orang yang sesungguhnya; menempatkan keinginan terhadap objek atau individu terhadap psyche, dan bertindak seakan-akan benda atau individu tersebut adalah miliknya tanpa memperhatikan apakah benda atau orang tesebut ada apa tidak ada. Hal ini mengakibatkan orang yang melakukan introjeksi tidak bisa membedakan antara “saya” dan  “bukan saya” (Hartono, 2012:163).

    Inrtojects, atau pikiran, atau pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak dicerna merupakan hasil-hasil proses introyeksi. Introyeksi dapat dilihat sebagai kecenderungan untuk “memiliki” sebagai bagian dari self apa yang sebenarnya bagian dari lingkungan. Dua hasil dari introyeksi adalah, pertama, bahwa introjects membuat individu-individu tidak dapat berhubungan dengan realitasnya karena setiap saat mereka harus bertentangan dengan tubuh-tubuh asing ini. Kedua, bahwa Introjects mungkin tidak kompetibel satu sama lain dan oleh sebab itu memberikan kontribusi pada disintegrasi kepribadian (Jones, 2011:200).

2)       Projection (Proyeksi)

    Proyeksi merupakan kebalikan introyeksi, dalam hal ini adalah kecenderungan  untuk “miliknya sendiri” sebagai bagian dari lingkungan apa yang sebenarnya adalah bagian dari self (Jones, 2011:200). Proyeksi ini memiliki arti sesuatu mekanisme pertahanan diri dimana seseorang mengatribusikan motif-motif dalam dirinya kepada orang lain. Biasanya seseorang melakukan proyeksi ini dengan cara menuduh orang lain melakukan atau menjadi apa yang sebenarnya diinginkannya.

    Orang yang takut mengatakan bahwa orang lain agresif, orang yang berpegang teguh pada norma moral mengutuk pelanggaran susila anak-anak muda, orang tua menyerang anak-anak muda yang berambut gondrong, dan menuduh mereka sebagai orang yang homoseksual. Orang yang melakukan proyeksi akut disebut sebagai paranoia (Hartono, 2012:164).

 3)      Retroflection (Retrofleksi)

Retroflection berisi tentang diri seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjadi sesuatu, tetapi dialihkan pada orang lain. Sebagai contoh, saat kita mengalami kesakitan, kita sering mengarahkan agresi yang kita takuti itu kepada orang lain (Hartono, 2012:164). Agresi yang dilakukan untuk “menghilangkan” rasa sakit itu dilakukan oleh seseorang dengan tidak sadar, dengan demikian perilaku itu jauh dari kesadaran.

      Dalam retrofleksi, Individu tidak dapat mendiskriminasikana antara self dengan orang lain secara akurat dan memperlakukan dirinya dengan cara yang pada awalnya mereka inginkan untuk memperlakukan berbagai orang atau objek lain (Jones, 2011:202).

4)      Conflunce (konfluensi)

      Dalam konfluensi, seseorang sama sekali tidak melihat perbedaan atau sama sekali tidak mengalami batas antara self dan lingkungannya. Orang yang tidak menyadari batas-batas kontak antara diri dengan orang lain tidak akan mampu melakukan kontak yang baik dengannya atau bilamana perlu menarik diri darinya. Salah satu fitur konfluensi adalah menuntut persamaan dan tidak mau menoleransi perbedaan (Jones, 2011:201).

      Dapat dikatakan pula konfluensi merupakan suatu tingkatan kepribadian seseorang yang tidak dapat memperkirakan lingkaran antara dirinya dan lingkungan (mencakup orang lain); atau suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat mentoleransi perbedaan dengan orang lain (Hartono, 2012:164). Contoh mudah dari konfluensi adalah orang tua yang menghendaki anak-anaknya untuk sama dengannya.


4.      Tujuan konseling

Biasanya seseorang datang ke terapi gestalt karena berada dalam  kondisi krisis eksistensial (Jones, 2011:203). Atau bisa dikatakan  terapi gestalt berusaha untuk membantu seseorang agar dapat menerima dan memiliki kembali (reowning) suasana saat ini. Gestalt membantu individu agar dapat berada dalam kondisi saat ini dan di sini (here and now). Mereka bisa berpijak dalam suasana aman pada pada momen kehidupan sekarang.

Sasaran terapi adalah menjadikan konseli tidak bergantung kepada orang lain, menjadikan konseli menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya. Dalam terapi ini dikenal prinsip; kosongkanlah pikiran anda dan capailah kesadaran. (Hartono, 2012:165).

Dengan menyadari bahwa satu-satunya kenyataan yang kita miliki adalah kenyataan saat ini, orang serupa itu tidak melihat ke belakang atau ke depan untuk menemukan arti atau maksud dalam kehidupan. Hal ini mengandung pengertian bahwa seseorang tidak selalu tertancap pada kondisi masa lalu. Selain itu, dengan menyadari keadaan saat ini, mereka tidak akan berangan-angan tentang masa depan. Sehingga yang terpenting adalah masa kini yang harus dihadapi.

Kesadaran terhadap apa yang dialami oleh individu saat ini akan mengarahkan mereka pada penerimaan terhadap kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki, mereka akan mengatur diri mereka sendiri dan menentukan apa yang bisa mereka perbuat. Mereka akan menjadi diri mereka sendiri dan bukan menjadi orang lain. Dengan kata lain, individu akan secara langsung dihadapkan dan menyelesaikan kelemahan-kelemahan yang dialami (Hartono, 2012:165). Dalam hal ini bisa dikatakan secara ringkas terapi gestalt ini mempunyai tujuan yaitu memunculkan kesadaran.

Dalam terapi gestalt terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan terlebih dahulu. Menurut terapi gestalt seseorang dapat berhubungan dengan permasalahannya secara efektif jika mereka menggunakan kesadarannya atas apa yang telah terjadi disekitarnya. Dengan demikian, konseli diasumsikan mempunyai kapasitas untuk mendukung dirinya sendiri serta mampu mengambil tanggungjawab setelah menyelesaikan terapi. Untuk  hal tersebut, gestalt menggunakan beberapa istilah sebagaimana tersebut di bawah ini (Hartono, 2012:166):


 a.       Keadaan saat ini (the now)

Dalam terapi gestalt, kondisi waktu yang diutamakan adalah kondisi saat ini (now). Dalam hal ini terapi gestalt mempunyai pandangan apa yang telah terjadi adalah masa lalu dan apa yang akan terjadi itu belum tentu datang. Keadaan yang paling signifikan dengan masalah konseli saat ini.

b.      Urusan yang belum selesai

Konsep lain dari terapi gestalt adalah adanya urusan yang belum selesai (unfinished bussiness). Keadaan ini mencakup beberapa perasaan yang tidak diekspresikan oleh seseorang seperti marah, gusar, benci, sakit, cemas, menyesal, bersalah, dan lainnya Selain itu adanya urusan yang belum selesai ini akan muncul jika seseorang mencegah atau mengacaukan keadaan yang menyeluruh tersebut. Situasi ini harus segera diselesaikan agar tercipta keadaan paripurna atau bulat.

c.       Penghindaran

Penghindaran ini sangat erat kaitannya dengan urusan yang belum selesai, dimana seseorang mencoba untuk menghindari urusan ynag belum selesai. Dengan kata lain, bahwa seseorang akan berusaha untuk menghindarkan dirinya dalam menghadapi urusan yang belum selesai dan dari suatu pengalaman emosi yang tidak mengenakkan. Kebanyakan orang berusaha menghindari dari suatu pengalaman emosi  yang menyakitkan daripada membuat suatu perubahan yang perlu.

d.      Lapisan neurosis

Terapi gestalt bertujuan untuk membuat itu menjadi matang. Hanya saja, ada beberapa hal (Lapisan) yang dapat membuat seseorang itu terhambat untuk mencapai kematangan. Adapun lapisan-lapisan neurosis itu antara lain (Hartono, 2012:167):



1)      Kebohongan (the phony)

Merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk bereaksi terhadap perilaku atau kejadian lain yang menimpa dirinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara yang tidak sebenarnya (bohong). Pada saat seseorang menyadari akan kebohongan itu, maka pada saat itu pula mereka merasa tidak enak dan merasa sakit.

2)      Ketakutan (the phobia)

Pada keadaan ini seseorang merasa takut untuk menerima akibat dari apa yang dilakukannya. Mereka menolak dan tidak dapat menerima dirinya pada saat harus menghadapi kenyataan yang ada.

3)      Jalan buntu (the impasse)

Jalan buntu ini akan muncul pada seseorang saat tidak dapat menerima kenyataan yangg ada. Pada saat ini seseorang merasa bahwa dirinya tidak dapat bertahan terhadap kejadian yang menimpanya. Seseorang yang berada dalam keadaan tertutup pikirannya, seringkali merasa bahwa dirinya telah mati dan merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa.

4)      Implosif

Pada keadaan seperti ini, seseorang akan mengatakan pada dirinya sendiri. Mereka akan lebih banyak berbicara pada dirinya sendiri mengenai ketidak mampuannya atau perasaan bahwa dia ingin mati.

5)      Meledak-ledak (the eksplosive)

Pada saat ini seseorang akan menyalurkan seluruh tenaga yang telah dipendamnya. Wujud dari eksploitas ini biasanya adalah marah, memukul, membenci, dan lain sebagainya yang bersifat destruktif. (Hartono, 2012:168).

e.       Kontak dan hambatan dalam kontak (Contact and resistance to contact)

          Dalam terapi gestalt, kontak atau hubungan mempunyai peranan yang sangat penting. Jika seseorang mengadakan kontak dengan lingkungannya, maka akan terjadi perubahan yang diinginkan. Kontak seseorang dengan lingkungan di sekitarnya dilakukan dengan cara melihat, mendengar, membau, menyentuh dan bergerak. Kontak ynag baik merupakan suatu hubungan dimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya tanpa kehilangan kepribadiannya (Hartono, 2012:168).

          Gestalt mengajarkan kepada seseorang untuk menyadari keadaan tubuhnya, keadaan perasaannya serta dirinya dalam berhubungan dengan lingkungannya. Semaikn baik itegrasi antara bagian-bagian itu, maka akan semakin mudah bagi seseorang untuk mengadakan hubungan dengan lingkungan disekitarnya.

          Dalam beberapa hal, gestalt juga memerhatikan adanya hambatan-hambatan dalam menciptakan hubungan atau kontak denagn lingkungannya. Menurut gestalt, hambatan itu kana muncul pada saat seseorang bertahan terhadap kejadian-kejadian yang nyata. Hambatan-hambatan itu hampir sama dengan apa yang diidentifikasikan oleh freud. Hambatan itu oleh perls disebut sebagai ego pertahanan diri (ego-defense mechanism). Hambatan yang harus dilawan menurut gestalt adalah introjection, projection, dan retloflection.

f.       Energi dan hambatan (energy and block to energy)

Dalam terapi gestalt, selain kontak atau hubungan, yang menjadi perhatian adalah bagaimana energi yang dimiliki seseorang dilokasikan, bagiamana energi itu digunakan, dan bagaimana energi dapat diblok. Energi yang terbendung merupakan suatu bagian hambatan bagi perkembangan manusia. Hambatan yang muncul ini bisa termanifestasikan pada ketegangan tubuh, postur tubuh, dan juga berbicara dengan suara keras untuk mendapatkan perhatian (attention).


5.      Teknik terapi gestalt.

Menurut Naranjo dalam Belkin ( Belkin, 1984:2220), dalam terapi gestalt ada sembilan prinsip penting yang harus ditanamkam kepada klien, diantaranya ialah:

1.      Live now. Be concerned with the present rather than with the past or future.

2.      Live here. Deal with what is present rather with what is absent.

3.      Stop imagining. Experience is real.

4.      Stop unecessary thinking. Rather, taste and see.

5.      Express rather than manipulate, explain, justify, or judge.

6.      Give in to unpleasantness and pain just to pleasure. Do not restrict your awarenes.

7.      Accept no should or ought other than your own. Adore no graven image.

8.      Take full responsibility for your action, feeling and thoughts.

9.      Surrender to being as you are.


Untuk mencapai tujuan di atas terapi gestalt memiliki cukup banyak teknik yang dapat dipakai untuk untuk mencapai kesadaran. Bahkan dalam penggunaanya konseli tidak menyadari bahwa teknik terapi telah dilakukan karena dibuat dalam bentuk permainan. Adapun bentuknya antara lain;

a.       Pengalaman sekarang

Klien diarahkan untuk merasakan dan melakukan pengalaman masa lalu atau masa yang akan datang sehingga dijadikan pengalaman sekarang. Misalnya klien diminta merasakan bagaimana menjadi seorang ibu padahal kondisi klien belum menikah.

b.      Pengarahan langsung

Konselor mengarahkan secara terus menerus hal-hal yang dilakukan klien berdasarkan pernyataan yang diberikan klien. Misalnya klienmenyatakan bahwa dulu dia pernah diputus oleh pacarnya dan sakit hati, kemudian konselor akan meminta klien melakukan tidakan bila itru terjadi sekarang.

c.       Perubahan bahasa

Klien didorong untuk mengubah pertanyaan menjadi pernyataan. Misalnya, “Dapatkan saya bahagia?” Diganti menjadi, “Sebenarnya saya tidak bahagia.”

d.      Teknik kursi kosong

Klien diarahkan untuk berbicara denagn orang lain yang dibayangkan sedang duduk dikursi kosong yang ada disamping atau didepannya. Setelah itu klien diminta untuk berganti tempat duduk dan menjawab pertanyaan yang tadi diajukan, seolah-olah klien adalah orang ynag ditanya. Tugas konselor adalah mengarahkan pembicaraan dan menentukan klien harus berganti tempat duduk. Teknik ini disebut sebagai permainan peran (role playing).



e.       Berbicara dengan bagian dari dirinya.

Teknik ini adalah variasi dari teknik kursi kosong. Intinya klien melangsungkan percakapan antara bagian-bagian yang ada dalam dirinya yang menimbulkan konflik. Misalnya percakapan antara top dog yang suka menuntut dan under dog yang penurut (Lubis, 2011:164-165).


IV.             PENUTUP

                        Terapi gestalt merupakan pendekatan eksistensial yang tidak hanya sibuk dengan hanya mengatasi gejala-gejala atau struktur kharakter, tetapi dengan eksistensi total seseorang. Menurut aliran gestalt, yang utama bukanlah elemen tapi keseluruhan. Kesadaran dan jiwa manusia tidak mungkin dianalisis ke elemen-elemen. Gejala kejiwaan harus dipelajari sebagai suatu keseluruhan atau totalitas. Artinya ketika melihat pelacuran tidak bisa dipandang sepotong-sepotong, tapi secara keseluruhan.

                        Biasanya seseorang datang ke terapi gestalt karena berada dalam  kondisi krisis eksistensial Atau bisa dikatakan  terapi gestalt berusaha untuk membantu seseorang agar dapat menerima dan memiliki kembali (reowning) suasana saat ini. Gestalt membantu individu agar dapat berada dalam kondisi saat ini dan di sini (here and now). Mereka bisa berpijak dalam suasana aman pada pada momen kehidupan sekarang untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

                        Sasaran terapi adalah menjadikan konseli tidak bergantung kepada orang lain, menjadikan konseli menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya. Bisa melakukan berbagai macam kebaikan sesuai dorongan jiwanya.

                        Demikianlah dengan berbagai keterbatasan  makalah ini penulis susun. Di dalamnya tentu saja terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik secara metodologis maupun substantif. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.


Daftar Pustaka

Badri, Malik B. 1996. Dilema Psikolog Muslim, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Belkin, S. Gary, 1984. Introduction to Counseling,  Iowa (USA):WM. C. Brown Publisher.

Hartono, 2012. Psikologi Konseling, Jakarta: Kencana,

Jones, Richard Nelson, 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lubis, Namora Lumongga, 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan praktek, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Marliani, Rosleny. 2010. Psikologi Umum, Bandung: CV Pustaka Setia.

Nashori, Fuad, 2002. Agenda Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhayati, Eti. 2011. Bimbingan Konseling dan Psikoterapi Inovatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Richards, Graham. 2010. Psikologi. Yogyakarta: Penerbit BACA.

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum, Bandung: CV Pustaka Setia.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama