Urut-Urutan Waktu Sholat Dalam Sholat 5 Waktu

Lima waktu shalat fardhu biasanya disebutkan dengan urutan : Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh.

Yang menjadi pertanyaan adalah : kenapa urutannya dimulai dengan waktu Zhuhur? Kenapa bukan dimulai dari waktu Shubuh? Bukankah kita memulai hari dari kita bangun tidur dan shalat yang pertama kali kita lakukan adalah shalat Shubuh?

Ada juga yang bertanya, kenapa juga bukan dimulai dari waktu Isya’? Karena ada sebagian kalangan yang membuat singkatan urutan waktu shalat Isya, Subuh, Lohor, Asar, Maghrib menjadi I-S-L-A-M. Padahal yang benar adalah Zhuhur, bukan Lohor.

Dasar yang digunakan para ulama dalam membuat urutan itu adalah berdasarkan urutan pensyariatannya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima perintah shalat 5 waktu di malam mi’raj beliau, Allah Subhanahu wa Ta’ala belum mendiskripsikan shalat apa saja yang harus dikerjakan. Juga belum ada penjelasan tentang nama-nama shalat serta kapan waktu yang ditetapkan untuk shalat-shalat itu. Seusai mi’raj, beliau SAW pulang ke rumah tanpa membawa detail rincian shalat.

Barulah keesokan harinya, ketika matahari berada di atas kepala, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissam kepada beliau dan mulai menjelaskan shalat apa saja yang harus dikerjakan, beserta waktu yang ditentukan. Dan shalat yang pertama kali dijelaskan dan dikerjakan adalah mulai dari Shalat Zhuhur, sebagaimana hadits di atas.

    Waktu Shalat Zhuhur

Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah ‘tergelincirnya’ matahari, sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi (الشمس زوال). Namun istilah ini seringkali membingungkan, karena kalau dikatakan bahwa ‘matahari tergelincir’, sebagian orang akan berkerut keningnya, “Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?”.

Zawalusy-syamsi adalah waktu dimana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.

Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.

Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa‘. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau ‘matahari tergelincir’. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.

Namun shalat Zhuhur hukumnya mustahab saat siang sedang panas-panasnya untuk diundurkan beberapa waktu.

Tujuannya agar meringankan dan bisa menambah khusyu’.[1]

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini :

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat,beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)

    Waktu Shalat Ashar

Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri.

Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini :

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar”. (HR. Muttafaq ‘alaihi).

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam.

Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”…Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit”. (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning”.(HR. Muslim)

Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW membaca ayat :”Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha”. Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)

Dari Ibnu Mas’ud dan Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Shalat Wustha adalah shalat Ashar”. (HR. Tirmizy)

Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat Ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat Shubuh.[2]

    Waktu Shalat Maghrib

Sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa waktu shalat Maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari.

Terbenamnya matahari adalah sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)”. (HR. Muslim).

Istilah ‘syafaq‘ menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa ‘syafaq‘ adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah :

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam”. (HR. Tirmizy)[3]

    Waktu Shalat Isya’

Waktu shalat Isya’ dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib, dan terus berlangsung sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnyahingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalatshubuh.

Dari Abi Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya”. (HR. Muslim)

Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat ‘Isya’ adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam, atas dasar hadits berikut ini.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya’ hingga lewat tengah malam,kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau bersabda,”Sesungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku.”. (HR. Muslim)

Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim)

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)

    Waktu Shalat Shubuh

Seringkali orang terkecoh dengan dua istilah, yaitu shalat Fajr dan shalat shubuh. Padahal sesunguhnya keduanya adalah satu. Shalat Fajr itu adalah shalat shubuh dan shalat shubuh adalah shalat Fajr.

Orang-orang di Hijaz (Jazirah Arabia) terbiasa menyebut shalat shubuh dengan istilah shalat Fajr. Sedangkan bangsa Indonesia terbiasa menggunakan istilah shalat shubuh.

Namun keduanya satu juga, itu itu juga. Waktu shalat Fajr atau shalat shubuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajr atau dalam bahasa Indonesianya menjadi fajar bukanlah matahari.

Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.

Waktu shubuh (dan juga waktu Isya’) amat berhubungan dengan adanya pembiasan sinar matahari oleh atmosfer bumi. Seandainya tidak ada atmosfer di bumi, maka begitu matahari terbenam langit akan gelap sama sekali, atau sebelum matahari terbit langit juga masih gelap sama sekali.

Seperti terbenamnya matahari bila kita berada di bulan yang tidak punya atmosfir.

Karena adanya atmosfer itulah, sinar matahari yang berada di bawah ufuk masih mampu dibiaskan oleh atmosfer bumi sehingga langit masih agak terang, belum gelap sama sekali. Dan sebaliknya, meski matahari belum muncul di ufuk Timur, namun oleh atmosfir bumi, sinarnya sudah dibiaskan terlebih dahulu, sehingga langit (sebenarnya atmosfir bumi) sudah mengalami terang terlebih dahulu, sebelum daratannya.

Kalau kedalaman matahari di bawah ufuk belum melebihi batas astronomical twilight, maka belum ada intensitas cahaya matahari yang ada di langit. Langit masih gelap, dan saat itu belum masih waktu shubuh. Di dalam syariah, kita mengenal ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq.

    Fajar Kadzib

Fajar kazib adalah fajar yang ‘bohong’ sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Fajar kadzib berupa cahaya putih yang muncul secara vertikal (dari bawah ke atas atau timur ke barat). Cahaya ini tidak muncul secara merata di ufuk timur, artinya ada sisi ufuk yang gelap dan ada yang terkena cahaya. Setelah itu, alam kembali menjadi gelap karena fajar telah menghilang. Fenomena ini dikenal dengan fajar kadzib.

    Fajar Shadiq

Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar. Bentuknya berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur. Munculnya beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shalat Shubuh.

Bedanya dengan fajar yang kadzib, fajar shadiq ini diikuti dengan cahaya yang semakin terang, dan semakin terang hingga terbitlah matahari.

Menurut Ibn Jarir Ath-Thabari, sifat sinar Subuh yang terang itu menyebar dan meluas di langit, sinarnya atau terang cahayanya memenuhi dunia, hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas.

Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Di antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah waktu untuk melaksanakan shalat Shubuh.

Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan”. (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)

Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari”. (HR. Muslim)

    Fajar dalam tinjauan Astronomi

Beberapa jam sebelum matahari terbit, di ufuk timur tampak cahaya kuning kemerah-merahan yang menjadi waktu berakhirnya gelap malam menuju siang yang terang benderang.

Cahaya tersebut merupakan pembiasan cahaya matahari oleh partikel-partikel yang ada di angkasa. Semakin dekat posisi matahari terhadap ufuk, semakin terang pula cahaya tersebut. Dalam astronomi, cahaya tersebut dikenal dengan istilah twilight atau cahaya fajar.

Astronomical Twilight

Kondisi ini terjadi saat posisi matahari masih berada antara – 18˚ sampai – 12˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka belum tampak batas-batas bentuknya. Semua bintang baik yang terang maupun yang samar masih tampak.

Nautical Twilight

Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara – 12˚sampai – 6˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, bendabenda di lapangan terbuka masih samar batas-batas bentuknya. Sedangkan bintang yang bisa dilihat adalah semua bintang terang.

Civil Twilight

Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara- 6˚ sampai 0˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka sudah tampak batas-batas bentuknya.

Sedangkan bintang yang bisa dilihat hanyalah sebagian bintang terang saja.

Yang menjadi pertanyaan menarik adalah, yang manakah dari ketiga posisi matahari di atas yang merupakan waktu shubuh?

Dalam hal ini ternyata kita menemukan fakta bahwa tiap sistem penanggalan di berbagai negara Islam berbeda-beda dalam menetapkannya. Berikut adalah tabel yang menjabarkan bagaimana perbedaan itu di masing-masing negara Islam :

Sistem / Negara Posisi Matahari

    Ummul Qura (Saudi Arabia) – 18 °
    Egyptian General Authority of Survey (Mesir) – 19,5 °
    Islamic Society of North America (Amerika Utara) – 15 °
    Moslem World League – 18 °
    University of Islamic Science (Pakistan) – 18 °
    Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama (Indonesia) – 20 °

Perbedaan ini harus diakui sebagai realitas perbedaan dalam masalah ijtihad. Dan memang dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di atas, karena banyak faktor.

Di antaranya faktor geografis, karena perbedaan lintang, faktor intensitas cahaya di langit ketika ada bulan purnama atau bulan mati, faktor awan, cahaya dari permukaan bumi (lampu) dan lainnya. Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI konon merujuk kepada hasil perhitungan Sa’adudin Jambek, ahli hisab Indonesia masa lalu yang menggunakan angka – 20 °.

Sedangkan Al-Biruni, seorang cendekiawan Islam yang terbesar pada masanya, mengusulkan agar astronomical twilight alias kedudukan matahari 18 derajat di bawah horison, sebagai awal fajar, seperti termaktub dalam al- Qanun al-Mas’udi.

[1] As-Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 hal. 95

[2] Asy-Syaukani, Nailul Authar, jilid 1 hal. 311

[3] Menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama