Tanda-Tanda Penyakit Hati Dan Kesehatannya

[Tazkiyatuz-Nafs terdiri atas dua aspek: Takhliyah dan tahliyah atau takhalluq, tahaqquq dan tath-hir. Sesuai dengan hal ini maka mengetahui kesucian jiwa termasuk sarana pensuciannya, karena tanpa mengetahuinya tidak akan terjadi proses tazkiyah dengan baik, apalagi ilmu pada umumnya mendahului amal. Pada bab ketiga akan kami jelaskan hakikat tazkiyah, tetapi kami ingin mempersiapkan tema-temanya dengan menyebutkan fasal ini agar diketahui bahwa apa yang akan kita bahas pada bab berikutnya juga termasuk sarana, sekalipun ia merupakan tujuan itu sendiri. Seringkali sarana juga sekaligus menjadi tujuan dan sebaliknya. Dari sini kemudian kami memilih penjelasan al-Ghazali tentang berbagai tanda penyakit hati dan kesehatannya, setelah kami mengenalkan kepada Anda hikmah pemaparannya di sini].

Tanda-tanda Penyakit Hati dan Kesehatannya
Ketahuilah bahwa setiap anggota badan diciptakan untuk suatu fungsi tertentu, sedangkan sakitnya anggota badan ialah apabila tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga fungsi itu tidak muncul sama sekali atau muncul tetapi disertai semacam ketidakstabilan. Sakit tangan ialah ketidak- mampuannya untuk memegang, dan sakit mata ialah ketidakmampuannya untuk melihat. Demikian pula sakitnya hati ialah tidak berjalannya fungsi penciptaan hati; yaitu menyerap ilmu, hikmah, dan ma’rifah, mencintai Allah, ibadah kepada-Nya, merasakan kelezatan dengan mengingat-Nya, mengutamakan semua itu ketimbang semua syahwat, meminta bantuan semua syahwat dan organ untuk melaksanakan fungsi tersebut. Allah berfirman:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Dalam setiap organ terdapat fa’idah (fungsi), sedangkan fungsi hati adalah hikmah dan ma ‘rifcih yang merupakan keistimewaan jiwa yang dimiliki manusia. Dengan fungsi tersebut manusia berbeda dari binatang. Manusia tidak berbeda dari binatang karena kemampuannya untuk makan, melakukan hubungan biologis, melihat atau lainnya, tetapi karena mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Sedangkan asal, pencipta dan penemu sesuatu adalah Allah ‘azza wa jalla yang menjadikannya sebagai sesuatu. Jika manusia mengetahui segala sesuatu tetapi tidak mengetahui (ma’rifah) Allah maka ia dianggap tidak mengetahui apa-apa. Tanda ma’rifah ialah cinta. Siapa yang mengetahui Allah pasti mencintai-Nya. Sedangkan tanda cinta ialah mengutamakan-Nya ketimbang dunia atau hal-hal yang dicintai selain-Nya, sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat ting gal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (at-Taubah: 24)

Siapa yang lebih mencintai sesuatu ketimbang Allah maka hatinya sakit, sebagaimana setiap perut yang lebih menyukai tanah ketimbang roti dan air atau tidak berselera kepada roti dan air maka perut tersebut berarti sakit. Itulah tanda-tanda penyakit dan dengan hal ini diketahui bahwa semua hati menderita sakit kecuali yang dikehendaki Allah.

Adapun tanda-tanda kepulihan kesehatanya setelah diterapi ialah memper­hatikan penyakit yang diterapi. Jika penyakit yang diterapi adalah penyakit kebakhilan maka ia merupakan pembinasa yang menjauhkan dari Allah dimana terapinya adalah dengan memberikan dan menginfaqkan harta. Tetapi bisa jadi dalam memberikan harta tersebut sampai batas mubadzir yang juga merupakan penyakit. Ia seperti orang yang mengobati kedinginan dengan panas sampai berlebihan yang akhirnya menjadi penyakit juga, padahal yang diper­lukan adalah keseimbangan antara panas dan dingin. Demikian pula yang diperlukan adalah keseimbangan antara kemubadziran dan kepelitan sehingga menjadi pertengahan dan sangat jauh dari kedua sisi. Jika Anda ingin menge- tahui pertengahan maka perhatikanlah perbuatan yang diharuskan oleh akhlaq yang terlarang; jika lebih mudah bagi Anda dan lebih lezat dari yang berten­tangan dengannya maka hal yang mendominasi diri Anda adalah sifat yang mengharuskannya. Seperti jika menahan harta dan mengumpulkannya lebih lezat dan lebih mudah bagi Anda daripada memberikannya kepada yang berhak maka ketahuilah bahwa hal yang mendominasi diri Anda adalah sifat bakhil, sehingga Anda harus senantiasa meningkatkan pemberian harta. Jika membe­rikan harta kepada orang yang tidak berhak lebih lezat dan lebih ringan bagi Anda ketimbang menahannya secara benar maka hal yang mendominasi diri Anda adalah kemubadziran. sehingga Anda harus kembali membiasakan menahan.

Maka Anda senantiasa mengawasi diri Anda dan mengenali akhlaq Anda dengan kernudahan dan kesulitannya dalam berbuat sehingga keterikatan hati Anda terputus dari perhatian kepada harta, sehingga tidak cenderung kepada memberikannya dan tidak pula cenderung kepada menahannya, tetapi di sisi Anda menjadi seperti air. Anda tidak dituntut kecuali menahannya karena keperluan orang yang membutuhkan atau memberikannya karena kebutuhan orang yang memerlukannya; tidak terjadi pada diri Anda bahwa memberikan lebih kuat ketimbang menahan.

Setiap hati yang menjadi demikian maka sesungguhnya ia akan datang kepada Allah dalam keadaan selamat dari maqam ini pada khususnya, dan harus selamat dari semua sifat (tercela) sehingga tidak memiliki hubungan sama sekali dengan sesuatu yang berkaitan dengan dunia, agar jiwa terbebas dari dunia dan terputus ikatan dengannya, tidak menoleh lagi kepadanya dan tidak merindukan sebab- sebabnya. Pada saat itulah jiwa tersebut telah kembali kepada Tuhannya sebagai jiwa yang tenang yang ridha dan diridhai Allah dan masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang dekat kepada-Nya dari kalangan para Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin yang merupakan sebaik-baik teman.

Karena sikap pertengahan yang sejati antara dua sisi tersebut sangat rum it, bahkan lebih halus ketimbang rambut dan lebih tajam dari pedang, maka tidak diragukan lagi bahwa orang yang bisa menjaga keseimbangan di atas jalan yang lurus di dunia pasti akan melaju di atas jalan di akhirat. Dan sedikit sekali hamba yang terbebas dari penyimpangan dari jalan yang lurus —yakni jalan tengah— kepada salah satu sisi di antara dua sisi sehingga hatinya terkait dengan sisi yang dicenderunginya. Oleh sebab itu, ia tidak terbebas dari siksaan tertentu dan pelintasan di neraka sekalipun secepat kilat. Allah berfirman:

“Dan tidak ada seorang pun di antara kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa….” (Maryam: 71-72)

Yakni orang-orang yang kedekatan mereka kepada jalan yang lurus lebih banyak ketimbang kejauhan mereka darinya. Dan karena susahnya istiqamah maka setiap hamba wajib berdo’a kepada Allah dalam setiap hari tujuhbelas kali dalam bacaan shalatnya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” sebab ia wajib membaca al-Fatihah dalam setiap raka’at.

Diriwayatkan bahwa sebagian mereka melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam mimpi lalu ia bertanya: Sesungguhnya engkau telah bersabda wahai Rasulullah bahwa ‘surat Hud telah membuatku beruban'; mengapa engkau bersabda demikian’? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: Karena firman Allah: “Maka istiqamah- lah sebagaimana kamu diperintahkan” (Hud: 113)

Jadi, istiqamah di atas jalan yang lurus sangat sulit, tetapi manusia harus bersungguh-sungguh untuk mendekati istiqamah sekalipun tidak mampu mencapai nakikatnya. Setiap orang yang menginginkan keselamatan maka tidak akan ada keselamatan baginya kecuali dengan amal shalih, sedangkan amal shalih tidak akan lahir kecuali dari akhlaq yang baik. Oleh sebab itu, hendaklah setiap hamba mencermati sifat-sifat dan akhlaqnya; hendaklah ia memeriksanya dan melakukan terapi terhadapnya satu demi satu secara berurutan. Kita memohon kepada Allah semoga Dia berkenan menjadikan kita termasuk or­ang-orang yang bertaqwa.


SUMBER

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama